Senin, 18 September 2017

Titik Terlemah (2)

Kenapa selalu aku katakan dia lelaki penyedia bahu? Memang begitulah dia. Dia tak pernah mengabaikan posting-postingku di sosmed. Jika aku mengeluh tak jelas. Pernah suatu hari aku kehabisan uang, biasalah anak kostan yang selalu miskin di akhir bulan. Aku mengeluh di status Bbm ku. Orang pertama yang peduli hanya dia, tak perlu basa basi. Dia langsung mengutus temannya untuk memberikan aku uang karena saat itu dia lagi pulang kampung.
Atau saat aku mengeluh karena aku belum makan, dia langsung menjemputku di kostan dan menemaniku makan tapi tak ikut makan. "kenapa tak ikut makan?" tanyaku sambil mengunyah ayam goreng. "aku baru saja sudah makan sebelum menjempumu," jawabnya. Tak terlalu peduli saat itu apakah dia memang sudah makan atau tak cukup uang untuk makan berdua.
Dia tak pernah meninggalkan aku sendiri, contohnya saat malam minggu aku sering kali merengek untuk dia jangan pulang padahal aku tahu dia ingin menemui pacarnya. Dia pun mengiyakan dan memilih menemaniku dan sahabatku malam itu.
Aku juga pernah merengek untuk dibelikan ice cream, saat itu dia harus meminjam mobil temannya karena hari hujan hanya untuk menepati janji ice cream singapure itu.
Tak bosan dia mendengarkan rengekanku untuk selalu menemaniku disaat aku butuh dia. Dia tempatku menangis disaat aku tersakiti, dia memang tak banyak bicara. Tapi dia selalu menenangkan. Hari itu aku menangis lagi karena pacarku yg sudah beberapa bulan aku pacari. Dia hanya melihat iba kepadaku saat aku menangis sambil memeluk kakinya, lalu dia berkata "apa yang harus aku lakukan ya? Apa aku harus datangi dia?" sontak aku menjawab "jangan jangan" aku memohon jangan sambil terisak.
Dia menghela nafasnya " ya, hari ini harimu. Apa yg ingin kamu lakukan hari ini ayo kita lakukan aku tak akan melarangnya. Tapi ada satu hal yang tak boleh kamu lakukan."
"apa?"
"menangis."

Titik Terlemah (1)

Empat tahun berlalu, tanpa ada cerita tentang aku dan dia. Untuk tahun keempat kuliah kami, disini lah titik terlemah itu di mulai.
Teman-teman yang lain sibuk dengan skripsi. Tidak dengan dia dan aku, kami terlalu sibuk bermain. Kami terlalu sibuk dengan hal-hal bodo yang menjadi hambatan kuliah kami. Aku terlalu sibuk dengan teman-teman baruku dan begitu juga dia.
Juli 2013, Kora-kora
Malam itu di lapangan kota tempat kelahiran kami sedang di adakan pasar malam. Aku, dia dan beberapa sahabat kami yang lain tengah berkumpul disana. Sekedar bercerita dan minum. Aku melihat kearah kora-kora yg tengah asyik di ayun-ayun dan terdengar suara teriakan kesenangan yang bercampur ketakutan.
"naik itu yuk" ajakku kepada mereka yang asyik tertawa bercerita tak jelas.
"anterin yaya sono, gue mah takut" kata salah satu sahabatku kepada sosok dia. Dia pun beranjak dan mengajakku kesana. Aku senang sekali karena punya teman untuk bermain.
Perahu kayu tanpa pengaman itu, hanya kami berdua di atas nya. Aku disisi kanan dan dia disisi kiri. Kami saling berhadapan. Perahu kayu itu mulai di ayun-ayun. Semakin lama semakin kencang. Aku tertawa kesenangan, sedangkan dia terlihat pucat.
"eh mang, pelan-pelan aja. Tuh cewek takut" teriaknya kepada si tukang ayun perahu kayu ini sambil berpaling k arahku "iya kan yay?"
"eh bukan aku yang takut, tapi kamu" Aku pun tertawa lebih kencang. Alhasil, turun dari perahu kayu, dia pun muntah.

Awal

Perahu kertas atau lelaki penyedia bahu. Dua julukan yang aku berikan padanya, tapi dia tak tahu aku memberikan julukan itu kepadanya. Aku mengenalnya sudah cukup lama, kami satu sekolah saat SMA. Saat itu aku hanya tau namanya, dan tak terlalu memperdulikannya. Dia tak masuk daftar radarku.
Setelah lulus SMA, kami masuk di Universitas yg sama dan itu lah awal kedekatan kami. Kami menjadi sehabat, bukan hanya berdua tapi kami seperti sekelompok genk bersama teman-teman yang lain. Kami biasa menghabiskan weekend bersama, menonton, mandi pantai atau pulang ke kampung halaman yang hanya berjarak tempuh 2 jam dari kota tempat kami berkuliah.
Aku selalu punya pacar, begitu juga dia. Tak ada yang spesial antar persahabatan kami saat itu di tiga tahun pertama. Tapi ada satu senja yang aku ingat, saat itu kita baru selesai mandi di pantai lalu kau langsung megenggam tanganku dan berkata "jangan mau kalah sama mereka yay" sambil melirik ke arah dua sepasang kekasih yang berjalan tepat di depan kami sambil bergandengan tangan. Aku pun tertawa, lalu ku ayunkan tangan kami dengan muka berbicara 'kita gak mau kalah'. Ini semua terjadi sebelum rasa itu sampai ketitik terlemah.

Senin, 03 Maret 2014

Kosong

Malam yang cerah, namun tak berbintang. Jalanan cukup ramai dilalui lalu lalang kendaraan. Aku sendiri, dibawah pohon buah seri dipinggiran jalan raya ini. Ku tatap jam puutih di lengan kiriku, jam menunjukan pukul 22.39 WIB. Itu belum terlalu malam bagiku.

Aku menatap disekelilingku. Penjual  mie pangsit langgananku. abang Rio. Dia salah satu teman baikku, selalu memberikan mie pangsit gratis walaupun aku ingin membayarnya. Aku duduk disini karena menunggunnya membuat mie pangsit yang ku pesan. Ku tatap segerombolan pemuda di seberang jalan, tempat rental play station. Mereka tertawa riang disana, seperti tak ada yang dipikirkan, tampak bahagia.

Malam ini malam minggu, tapi aku tetap menikmati kesendirianku. Kesendirian yang mulai membuatku merasa nyaman. Ku ambil handphoneku dari tas Cressida hitamku, dan mulai menulis cerita ini. Tak jelas apa yang ada dipikiranku, tak tau apa yang harus aku pikirkan. Kosong. Soal kuliah? Soal percintaan? Semuanya sudah tak kuperdulikan lagi. Aku sudah muak untuk membahasnya, karna tak pernah kutemukan jawab dari semuanya.